CIANJUR – Lapas Cibinong Kabupaten Bogor melakukan studi tiru ke Lapas Kelas II B Cianjur, Selasa (30/5/2023). Kegiatan itu dilakukan untuk melihat sejauh mana pola pembinaan di Lapas Cianjur yang berjalan lurus dengan keberadaan Pesantren At-Taubah.
Kasi Binadik Lapas Cibinong Bogor, Fahmi Rezatya Suratman, mengaku kedatangannya ke Lapas Kelas II B Cianjur tak terlepas kegiatan studi tiru pola pembinaan warga binaan yang diterapkan melalui Pesantren At-Taubah. Secara garis besar, Lapas Cibinong Bogor berkeinginan mengadopsi konsep pesantren tersebut yang nanti akan diterapkan.
“Kami mengetahui bahwa Lapas Cianjur ini memiliki pesantren yang dari dulu sudah berdiri dan menjadi percontohan bagi lapas dan rutan di Indonesia,” kata Fahmi.
Kalapas Kelas II B Cianjur, Tomi Elyus, menuturkan bertahan lamanya keberadaan Pesantren At-Taubah tak terlepas pola pengelolaan yang dilakukan. Artinya, At-Taubah betul-betul menjadi tempat menuntut ilmu keagamaan layaknya pesantren pada umumnya.
“Memang banyak lapas berusaha melakukan pembinaan keagamaan. Itu dilakukan semua lapas dan rutan. Namun, kita di Cianjur jadi lapas pertama di Indonesia yang benar-benar menerapkan konsep pesantren yang sebenar-benarnya,” kata Tomi.
Konsep pesantren sebenarnya yang dimaksud Tomi, yakni semua pengajar di pesantren merupakan profesional yang kompeten pada bidangnya. Silabus yang diajarkan kepada santri warga binaan juga betul-betul sama dengan pesantren pada umumnya.
“Cuma bedanya, kalau di Lapas Cianjur itu mereka belajar agama harus dilaksanakan sampai masa pidananya selesai. Makanya, ada warga binaan yang sudah lulus, tapi harus kembali mengulang-ulang lagi karena masa pidananya belum selesai. Ada yang khatam Alquranya berkali-kali,” terangnya.
Bagi Tomi, keberadaan Pesantren At-Taubah dirasakan betul dampak positifnya. Apalagi dengan kapasitas lapas yang hanya mampu menampung warga binaan sebanyak 300 orang, Lapas Kelas II B pernah mencapai hampir 800 orang.
Kondisi itu rentan memicu terjadinya gesekan dan munculnya kejahatan di dalam sel. Namun, dengan bekal ilmu agama yang diperoleh warga binaan, berbagai potensi tersebut bisa diminimalkan.
“Tingkat pelanggarannya itu relatif kecil, walaupun tetap ada saja dibandingkan dengan lapas lainnya yang overkapasitas,” jelasnya.
Contoh lainnya seperti saat terjadi gempa magnitudo 5,6 pada November 2022 lalu. Menurut Tomi, saat ini ada kesempatan bagi warga binaan melarikan diri karena situasi dan kondisi tak karuan ditambah pengamanan yang longgar.
“Tapi, warga binaan di sini tidak ada satupun yang kabur. Mereka semua berkumpul di lapangan, kemudian melaksanakan doa bersama. Saya meyakini, ini karena mereka (warga binaan) sudah menyadari keinginan untuk berubah ke arah lebih baik. Nurani mereka tersentuh dengan konsep pesantren yang diperoleh selama pembinaan di dalam lapas,” tegasnya. (*/red)