Bupati Wahyu Sudah 100 hari memimpin Cianjur. Tapi alih-alih menghadirkan gebrakan, justru yang terasa adalah kebingungan. Slogan “Era Baru” terus digaungkan, tapi realitanya belum tampak jelas di lapangan. Yang baru mungkin hanya baliho dan spanduknya—isinya masih mengawang.
Slogan Menggema, Kebijakan Belum Menyapa
Saat kampanye dulu, “Era Baru” terdengar menjanjikan: perubahan, semangat baru, dan Cianjur yang lebih baik. Tapi setelah dilantik, publik belum melihat arah kebijakan yang benar-benar menyentuh akar persoalan masyarakat. Pemerintah tampak lebih sibuk dengan pencitraan simbolik, ketimbang membangun pondasi sistemik.
RPJMD: Jalan Tanpa Kompas?
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sejatinya adalah kompas arah pembangunan selama lima tahun. Namun hingga hari ke-100, belum ada penegasan arah kebijakan. Apakah fokusnya peningkatan kualitas pendidikan, penguatan ekonomi desa, atau pengelolaan lingkungan? Semua masih samar. Padahal, tanpa RPJMD yang solid dan partisipatif, pembangunan hanya akan berjalan dalam mode coba-coba.
Program 25 Juta per RT: Niat Baik, Risiko Besar
Salah satu program yang paling disorot adalah bantuan Rp25 juta per RT dalam bentuk material bangunan. Tujuannya memang terdengar mulia—memberdayakan lingkungan RT agar bisa memperbaiki infrastruktur kecil. Namun, pola distribusinya justru membuka ruang besar bagi praktik monopoli dan penyimpangan.
Kita harus menghindari praktek material tidak dibeli langsung oleh warga atau pengurus RT, melainkan disediakan oleh pihak ketiga yang telah ditunjuk atau dikondisikan. Ini artinya, ada konsentrasi kekuasaan pengadaan pada segelintir vendor atau penyedia, yang berpotensi membentuk pasar tertutup (closed market). Kondisi semacam ini rawan menciptakan monopolistic practice—praktik monopoli yang mematikan kesempatan usaha bagi pelaku lokal lainnya.
Secara teori, hal ini dijelaskan oleh Public Choice Theory (Buchanan & Tullock), di mana keputusan politik dan kebijakan publik sangat rentan dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu (interest group) yang lebih dominan dibanding kebutuhan masyarakat luas. Dalam konteks ini, jika pengadaan material hanya dikuasai oleh satu-dua rekanan, maka kebijakan publik berubah menjadi alat akumulasi keuntungan bagi segelintir pihak, bukan alat pemerataan.
Risiko lain dari model ini adalah turunnya kualitas dan efektivitas. Material bisa jadi tidak sesuai kebutuhan lapangan, asal-asalan, bahkan tak digunakan. Tanpa mekanisme kontrol partisipatif dari warga, bantuan ini bisa menjelma jadi proyek titipan yang kehilangan ruh pemberdayaannya.
Minim Laporan, Rakyat Hanya Bisa Menebak
Seratus hari pertama adalah waktu krusial untuk menunjukkan arah dan komitmen. Tapi hingga kini, belum ada laporan terbuka mengenai apa saja yang sudah dikerjakan. Tak ada evaluasi capaian, tak ada audit program, dan tak ada ruang dialog dengan publik. Pemerintahan tampak berjalan dalam ruang sunyi, seolah tak perlu pertanggungjawaban.
Penutup: Era Baru Butuh Arah Jelas, Bukan Sekadar Janji
Jika pemerintah daerah serius ingin membawa Cianjur ke arah baru, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah memperjelas visi, memperkuat transparansi, dan menghindari jebakan monopoli. Program-program populis yang tanpa akuntabilitas justru bisa menjadi beban sosial dan menciptakan ketimpangan baru.
Dengan slogan “Era Baru” dari Bupati Wahyu, seharusnya bukan hanya semangat baru, tapi juga cara baru dalam membangun: lebih terbuka, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak.
Penulis : Fatha manggala